Pendidikan di Indonesia masih
sangat mementingkan hasil daripada proses. Hal ini terlihat dari
diberlakukannya Ujian Nasional sebagai acuan penilaian kelulusan siswa, sejak
tahun 2005 pada tingkat sekolah menengah pertama dan atas/sederajat, sedangkan
pada tingkat dasar baru diberlakukan pada saat tahun ajaran 2008/2009
yang ketika itu diberi nama UASBN ( Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional). Ujian
Nasional (UNAS) atau yang biasa sering disebut dengan UN adalah sistem
standarisasi yang dibuat dengan skala nasional pada tingkat dasar dan menengah
yang telah disahkan oleh menteri pendidikan serta undang-undang no. 20 tahun
2003 (Diki, 2014).
Ujian Nasional sarat akan masalah. Hal ini
disebabkan karena siswa harus mengikuti jam tambahan sekolah sebelum UN
dilaksanakan. Selain itu, UN yang dipengaruhi oleh kekuasaan politik, sampai
terkuaknya sindikat jual-beli jawaban UN. Namun pemerintah tetap mempertahankan
UN untuk tetap dilaksanakan, sebab UN digunakan sebagai sarana untuk mengukur
kualitas anak bangsa.
UN telah mengecewakan banyak pihak terutama peserta
didik dan juga orangtuanya. Orangtua akan melakukan berbagai cara agar anaknya
dapat lulus dalam UN. Selain itu guru juga membantu siswanya untuk persiapan
menghadapi UN. Siswa harus berangkat ke sekolah lebih pagi (pukul 06.00) dan
kembali ke rumah pukul 15.30 sore. Hal ini dilakukan untuk mengejar target
merampungkan soal-soal tahun lalu yang harus dipahami dan diselesaikan dalam waktu
yang singkat oleh siswa.
Lembaga bimbingan belajar layaknya dewa penyelamat
masa depan sekolah dan siswa. Pihak sekolah merasa terbantu karena lembaga
bimbingan belajar telah membantu menjawab soal-soal ujian dan membuat prediksi.
Maksud pihak sekolah mengundang lembaga bimbingan belajar pun hanya satu, agar
seluruh siswanya dapat lulus. Mereka tidak memikirkan berapa biaya yang harus
dikeluarkan, walaupun pada akhirnya semua beban biaya ditanggung orang tua
siswa. Pihak sekolah akan merasa malu
jika ada siswanya tidak lulus. Ketakutan lain dari pihak sekolah adalah
turunnya angka akreditasi yang mengakibatkan sekolah menjadi tidak laku, atau
menurunnya jumlah siswa pada tahun yang akan datang. Gengsi sekolah
dipertaruhkan dalam UN.
UN terdiri dari beberapa mata pelajaran, salah
satunya adalah matematika. Menurut
plato, obyek ilmu (matematika) itu berada di dalam pikir. Sedangkan menurut Aristoteles,
obyek ilmu (matematika) itu berada di luar diri pikiran kita. Menurut Plato,
matematika adalah absolut, ideal, absrak dan bersifat tetap. menurutnya, tidak
adalah bahwa matematika itu cacat, kurang sempurna atau salah. Pendapat Plato
ini kemudian melahirkan aliran absolutisme atau idealisme dalam matematika. Aliran
platonisme inilah yang dianut sebagian besar matematikawan murni (di perguruan
tinggi). Aristoteles mendefinisikan matematika sebagai pengalaman. Menurutnya,
tiadalah ilmu atau matematika yang tidak berdasarkan pengalaman. dengan
demikian ciri-ciri matematika menurut aristoteles adalah kongkrit dan relatif.
Pendapat Aristoteles inilah yang kemudian menjadi cikal bakal munculnya aliran
empiricism.
Matematikawan
Indonesia di Universitas adalah Kaum Platonism, sedangkan implementasi
Kebijakan Pendidikan Matematika di Indonesia juga dipengaruhi dan ditentukan
oleh mereka (Platonism yang berada di ITB, UI, IPB dan UGM) maka tidaklah
mungkin Ujian Nasional dapat dihapus tanpa ridlo dan keikhlasan dari mereka. Berdasarkan fakta-fakta yang sudah
disebutkan dan setelah dikaji menggunakan filsafat, membuat kita dapat menyimpulkan
bahwa orientasi siswa belajar selama di sekolah berubah menjadi bertujuan
supaya lulus UN, bukan bertujuan untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat bagi
masa depannya.
Sumber:
Benni Setiawan. 2014. Ketika Ujian Nasional Sarat Masalah. (http://sinarharapan.co/news/read/140417024/Ketika-Ujian-Nasional-Sarat-Masalah-span-span-),
diunduh tanggal 15 November 2014.