Betapa
pentingnya refleksi dalam mata kuliah filsafat, hal ini semata-mata untuk
membuat saya mampu menggapai filsafat. Dalam kuliah filsafat, setiap pertanyaan
yang diutarakan mahasiswa akan dijawab oleh Bapak Marsigit, lalu mahasiswa
merefleksikan hasil dari setiap jawaban tersebut.
Medina (pertanyaan 1) :
Mana yang lebih mempengaruhi,
keyakinan mempengaruhi filsafat atau filsafat yang mempengaruhi keyakinan?
Bapak Marsigit :
Jangan sampai filsafat Anda
menggerogoti keyakinan Anda. Hindari filsafat Anda yang dapat mengurangi kadar
keyakinan Anda, tetapi justru sebaliknya. Jika Anda sudah merasa mengalami
degradasi, maka berhentilah untuk berpikir dan intensifkan diri dalam berdoa. Keyakinan
yang seharusnya diharapkan dapat mempengaruhi filsafat. Orang muslim maka
filsafatnya harus bisa mencerminkan kemuslimannya. Sebab, filsafat itu olah
pikir yakni berpikir seluas-luasnya tetapi tetap dibatasi dengan spiritual.
Filsafat itu tergantung dari orang dan spiritualnya. Spiritual yang berbeda
maka akan menghasilkan filsafat yang berbeda. Istilahnya seperti ‘jangan
sekali-kali matematikamu membuat kadar imanmu berkurang.’
Sukmo (pertanyaan 2) :
Jika dalam filsafat terdapat yang
ada dan mungkin ada, maka dimana letak yang tidak ada?
Bapak Marsigit :
Ada dan tidak ada menjadi
penyebab adanya yang lain. Contoh Bapak Marsigit dan Istrinya akan pergi ke
tempat adiknya, namun istri bapak Marsigit akan membaca yasinan. Maka Pak
marsigit dan istri tidak jadi pergi, dan kemudian tetap berada di rumah.
Ketidakadaan Bapak Marsigit dan istri di tempat adik dan di tempat yasinan
menyebabkan mereka berdua berada di rumah. Jadi tidak ada itu adalah ada, hanya
beda ruang dan waktu. Contoh lain, Indonesia marah pada Australia karena merasa
telah disadap, lalu Australia tidak mau mengakui hal tersebut. Kemudian tidak
ada komunikasi tidak ada kompromi antara kedua negara tersebut, maka ada
kevakuman komunikasi, artinya komunikasi ada dan tidak ada komunikasi juga ada.
Adanya komunikasi menyebabkan ketegangan menurun antara kedua negara.
Aisyah (pertanyaan 3) :
Bagaimana ikhlas dalam pikiran,
ikhlas dalam hati, ikhlas belajar dan ikhlas beramal?
Bapak Marsigit :
Selama ikhlas itu dikatakan dan
diucapkan maka tidak ada yang benar tentang keikhlasan itu, karena ikhlas
mencapai ranah spiritual. Maka tergantung janjinya berkata ikhlas dari tataran
yg mana. Kalau tataran urusan dunia maka menjadi multitafsir, tetapi kalo akhirat
tafsirnya hanya satu. Manusia tidak akan pernah mengerti kadar ikhlas itu,
manusia hanya berusaha memenuhi syarat rukun dan imannya untuk mencapai
keikhlasan. Sebenar-benarnya Maha Mengerti adalah sang pencipta yang tahu
tingkat keikhlasan kita. Perjuangan manusia adalah mengisi wadah. Keikhlasan
belajar selama itu urusan dunia kalau kita mau berpikir, sunatullah sesuai
dengan kodratnya, ikhtiar, dan harmoni keseimbangan (hak dan kewajibannya).
Bekerja keras itu adalah fisiknya. Ikhlas mengadakan yang mungkin ada menjadi
ada. Caranya yaitu dengan tumaninah dan istiqomah.
Objek filsafat bisa di dalam
pikiran dan bisa di luar pikiran. Contoh bolpoin yang tadinya ada menjadi tidak
ada karena sudah menghilang. Lalu bolpoint tersebut bisa dikatakan bolpoin hitam
karena bolpoin itu sudah ada di dalam pikiran kita. Hal yang berada di dalam
pikiran disebut idealisme, tokohnya adalah Plato. Hal yang ada di luar pikiran adalah
realisme, tokohnya adalah Aristoteles.
Dita (pertanyaan 3) :
Apakah ketenangan itu ada padahal
manusia bersifat kontradiktif?
Bapak Marsigit :
Dalam berfilsafat yang dilihat
adalah kualitas I dengan sifat yang ada dan yang mungkin ada. Dunia punya 2
prinsip yaitu identitas dan kontradiktif. Identitas yaitu aku sama dengan aku,
tetapi hanya terjadi di dalam pengandaian. Selama turun ke bumi berfilasafat
sensitif dengan ruang dan waktu maka tidak pernah bisa menunjuk diriku. Belum
selesai menunjuk diriku, lalu diriku yang tadi jadi sekarang, lalu berubah lagi
jadi diriku yang nanti, dan selalu berbeda. Aku sama dengan aku, ini dalam
filsafat salah kalau sensitif terhadap ruang dan waktu, karena ditemukan 2
macam aku, aku yang pertama dan aku yang kedua. Hukum identitas tidak akan
pernah terjadi seperti itu, itulah yang dinamakan kontradiksi. Yang terjadi di dunia itu subjek
tidak sama dengan predikat, sebab kalau subjek sama dengan predikat maka jadi
identitas. Jika subjek itu dirimu maka predikat itu sifat yg kamu miliki.
Karena hakikat segala sesuatu tergantung
ruang dan waktu maka tidak ada yang tetap, karena semuanya terus berubah. Kalo tenang
sama dengan tetap maka ketenangan hanya bisa diraih di akhirat. Hakikat di dunia,
hidup itu tidak tenang, maka bersiap-siap untuk tidak tenang agar bisa tetap
hidup. Tidak tenanglah dalam pikiran, sedangkan hatimu jagalah supaya dia tetap
tenang. Karena sebenar-benarnya ilmu diperoleh dengan cara menidaktenangkan
pikiran. Pikiran yang tenang itu pikiran yang sudah ada di akhirat. Jika dalam hidup
pikiranmu kontradiktif, artinya tesis perlu dicari antitesis kemudian dicari
sintesis. Tesis yang tidak tenang harus dicari lagi antitesisnya (apa iya itu
benar?) setelah dicari datanya ternyata benar maka itu disebut sintesis. Tenang
itu berati hanya tesis saja. Sebenar-benarnya tenang mengandung tidak tenang. Manusia
itu tenang dalam ketidaktenangan.
Dyah (pertanyaan 4) :
Bagaimana hakikat hidup manusia?
Bapak Marsigit :
Manusia menemukan hakikat
hidupnya itu dengan berbagai cara, dengan berpikir intuitif, menyadari dalil
dan aksioma yang menjadi pedoman dan sebagainya. Setinggi-tingginya senjata Mahadewa itu ternyata
mengandung filsafat, teori, aksioma, dan dalil. Maka jika kita belajar ilmu
filsafat ini seakan-akan kita mendapatkan ilmu tantra dimana Mahadewanya adalah
Bapak Marsigit, tapi Anda tertidur sehingga tidak mampu membaca elegi dan
membuat komen, maka turun lagi ke bumi menjadi anak nelayan. Supaya bisa ketemu
Bapak Marsigit kembali dan mendapat surat tidak lulus filsafat.
Karena
matematika itu ada di atas, maka matematika itu mempunyai aksioma, dalil dan
teorema. Bilangan bulat ditambah bilangan bulat, maka hasilnya bilangan bulat.
Silahkan cari di dunia, bilangan bulat ditambah bilangan bulat. Karena dunia
tidak sempurna, maka ada orang yang menemukan 2 itu lebih besar dari pada 7,
itu karena 2 ditulis dengan spidol, dan 7 menggunakan pensil. Maka dalil yang
itu pasti benar karena dia terbebas oleh ruang dan waktu.
Kuliah
filsafat bisa bertemu dengan mahadewa. Ayam itu dewanya cacing, kucing itu
dewanya tikus, Kita itu dewanya jilbab kita, subjek itu dewanya predikat, kita
itu dewanya milik kita dan kita itu dewanya sifat kita, kita yang sekarang
dewanya kita yang lalu, kita yang nanti dewanya kita yang sekarang. Yang
dimaksud dewa disini adalah dimensi. Ada dimensi yang berbeda-beda. Jika subjek
itu adalah dewanya, maka predikat itu adalah daksanya. Yang harusnya diberi
pantangan adalah daksanya, bukan dewanya. Jika kita buang, lempar, atau sekali
pakai jilbab kita, maka itu terserah kita karena kita adalah dewanya jilbab,
sementara jilbab kita itu adalah daksanya dan sifatmu. Maka tidak akan pernah
terjadi subjek sama dengan predikat atau subjek sama dengan sifatnya.
Oleh :Dianing Meijayanti - 11313244024
Oleh :Dianing Meijayanti - 11313244024
Tidak ada komentar:
Posting Komentar