Senin, 05 Januari 2015

Permasalahan Pendidikan Matematika di Indonesia “Ketika Ujian Nasional Sarat Masalah”



Pendidikan di Indonesia masih sangat mementingkan hasil daripada proses. Hal ini terlihat dari diberlakukannya Ujian Nasional sebagai acuan penilaian kelulusan siswa, sejak tahun 2005 pada tingkat sekolah menengah pertama dan atas/sederajat, sedangkan pada tingkat dasar baru diberlakukan pada  saat tahun ajaran 2008/2009 yang ketika itu diberi nama UASBN ( Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional). Ujian Nasional (UNAS) atau yang biasa sering disebut dengan UN adalah sistem standarisasi yang dibuat dengan skala nasional pada tingkat dasar dan menengah yang telah disahkan oleh menteri pendidikan serta undang-undang no. 20 tahun 2003 (Diki, 2014).
Ujian Nasional sarat akan masalah. Hal ini disebabkan karena siswa harus mengikuti jam tambahan sekolah sebelum UN dilaksanakan. Selain itu, UN yang dipengaruhi oleh kekuasaan politik, sampai terkuaknya sindikat jual-beli jawaban UN. Namun pemerintah tetap mempertahankan UN untuk tetap dilaksanakan, sebab UN digunakan sebagai sarana untuk mengukur kualitas anak bangsa.
UN telah mengecewakan banyak pihak terutama peserta didik dan juga orangtuanya. Orangtua akan melakukan berbagai cara agar anaknya dapat lulus dalam UN. Selain itu guru juga membantu siswanya untuk persiapan menghadapi UN. Siswa harus berangkat ke sekolah lebih pagi (pukul 06.00) dan kembali ke rumah pukul 15.30 sore. Hal ini dilakukan untuk mengejar target merampungkan soal-soal tahun lalu yang harus dipahami dan diselesaikan dalam waktu yang singkat oleh siswa.
Lembaga bimbingan belajar layaknya dewa penyelamat masa depan sekolah dan siswa. Pihak sekolah merasa terbantu karena lembaga bimbingan belajar telah membantu menjawab soal-soal ujian dan membuat prediksi. Maksud pihak sekolah mengundang lembaga bimbingan belajar pun hanya satu, agar seluruh siswanya dapat lulus. Mereka tidak memikirkan berapa biaya yang harus dikeluarkan, walaupun pada akhirnya semua beban biaya ditanggung orang tua siswa.  Pihak sekolah akan merasa malu jika ada siswanya tidak lulus. Ketakutan lain dari pihak sekolah adalah turunnya angka akreditasi yang mengakibatkan sekolah menjadi tidak laku, atau menurunnya jumlah siswa pada tahun yang akan datang. Gengsi sekolah dipertaruhkan dalam UN.
UN terdiri dari beberapa mata pelajaran, salah satunya adalah matematika. Menurut plato, obyek ilmu (matematika) itu berada di dalam pikir. Sedangkan menurut Aristoteles, obyek ilmu (matematika) itu berada di luar diri pikiran kita. Menurut Plato, matematika adalah absolut, ideal, absrak dan bersifat tetap. menurutnya, tidak adalah bahwa matematika itu cacat, kurang sempurna atau salah. Pendapat Plato ini kemudian melahirkan aliran absolutisme atau idealisme dalam matematika. Aliran platonisme inilah yang dianut sebagian besar matematikawan murni (di perguruan tinggi). Aristoteles mendefinisikan matematika sebagai pengalaman. Menurutnya, tiadalah ilmu atau matematika yang tidak berdasarkan pengalaman. dengan demikian ciri-ciri matematika menurut aristoteles adalah kongkrit dan relatif. Pendapat Aristoteles inilah yang kemudian menjadi cikal bakal munculnya aliran empiricism.
Matematikawan Indonesia di Universitas adalah Kaum Platonism, sedangkan implementasi Kebijakan Pendidikan Matematika di Indonesia juga dipengaruhi dan ditentukan oleh mereka (Platonism yang berada di ITB, UI, IPB dan UGM) maka tidaklah mungkin Ujian Nasional dapat dihapus tanpa ridlo dan keikhlasan dari mereka. Berdasarkan fakta-fakta yang sudah disebutkan dan setelah dikaji menggunakan filsafat, membuat kita dapat menyimpulkan bahwa orientasi siswa belajar selama di sekolah berubah menjadi bertujuan supaya lulus UN, bukan bertujuan untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat bagi masa depannya.

Sumber:

Benni Setiawan. 2014. Ketika Ujian Nasional Sarat Masalah. (http://sinarharapan.co/news/read/140417024/Ketika-Ujian-Nasional-Sarat-Masalah-span-span-), diunduh tanggal 15 November 2014.

Marsigit. 2011. Elegi Menggapai Matematika Yang Tidak Tunggal. (http://powermathematics.blogspot.com/2011/09/elegi-menggapai-matematika-yang-tidak.html), diunduh tanggal 16 November 2014.

Selasa, 11 November 2014

Siapakah ikan itu?



 Terinspirasi oleh perkuliahan Bapak Marsigit pada mata kuliah Filsafat Pendidikan Matematika untuk program studi S1 Pendidikan Matematika Internasional 2011 pada hari rabu tanggal 29 Oktober 2014 jam 09.00 WIB di ruangan D01.204 FMIPA UNY.

Bagaimana kita membangun dunia dari yang ada dan yang mungkin ada? Yang ada bisa berupa daun, kacamata, dan sebagainya. Kita berusaha untuk membangun dahulu. Obyek filsafat adalah yang ada dan yang mungkin ada. Kita bisa mengeksplor yang ada dan yang mungkin ada melalui sifatnya. Sifatnya ada banyak, tetapi ada 2 macam yaitu yang bersifat intensif dan ekstensif. Contoh warna biru bila diintensifkan menjadi biru 1, biru 2, dan seterusnya. Bila diekstensifkan maka menjadi mempunyai harga, fungsi, struktur, tujuan, manfaat, dan sebagainya.
Beberapa sifat yaitu ada yang bersifat tetap dan ada yang bersifat berubah. Dari kedua sifat ini akan mengantarkan kita sampai kepada laut yang terdapat ikannya. Lalu muncul pertanyaan “siapakah ikan itu?” Ini adalah dimensi, dimana ketika kita tidak bisa menjawab sesuatu maka akan tetap tidak bisa menjawab jika memang kita tidak tahu jawabannya.
Carilah yang tetap dan yang berubah didalam diri kita. Contoh yang tetap adalah jumlah mata, sedangkan yang berubah adalah pikiran (pagi setuju namun sore tidak setuju), mood, bentuk badan, dan sebagainya. Yang tetap itu biasanya yang berdomisili paling banyak di dalam pikiran, sedangkan yang berubah itu biasanya di luar pikiran. Contohnya angka 4 tetap karena berada di dalam pikiran sedangkan yang di luar pikiran terdapat 4 besar, 4 kecil, 4 terbalik, dan sebagainya. Tokoh yang mendukung sifat tetap adalah Permenides dan filsafatnya disebut Permenidesialisme. Tokoh yang mendukung sifat berubah adalah Heraklitos dan filsafatnya disebut Heraklitosianisme. Sesuatu yang tetap di dalam pikiran itu berjumlah satu (mono), sedangkan sesuatu yang berubah itu berjumlah plural. Oleh karena itu, kita mengenal istilah monoisme dan pluralisme.
Sesuatu yang berada di dalam pikiran itu bersifat ideal. Filsafatnya disebut idealisme dan tokohnya adalah Plato. Kemudian lahir filsafat Platoisme. Contohnya adalah bagian depan sebuah penghapus berwarna hitam, kemudian penghapus tersebut disembunyikan. Lalu diberikan pertanyaan “apa warna bagian depan penghapus tadi?” Lalu pertanyaan ini dapat dijawab dengan mudah “warnanya hitam”. Hal ini dikarenakan penghapus tersebut telah ada di dalam pikiran kita. Sesuatu yang berada di luar pikiran disebut reali. Filsafatnya adalah realisme dan tokohnya adalah Aristoteles.
Zaman kegelapan muncul sekitar abad ke-12 sampai abad ke-13 Masehi yaitu dominasi gereja, dimana semua kebenaran harus berdasarkan gereja. Gereja menciptakan kebenaran yaitu secara geosentris bahwa bumi itu merupakan pusat sehingga matahari, bulan, dan bintang-bintang yang mengelilingi bumi. Ini merupakan kebenaran absolut yang ditegakkan oleh gereja pada saat itu, barangsiapa yang menyangkalnya maka ia merupakan musuh yang akan dikejar dan bahkan dibunuh. Lalu muncul Copernicus dan lahirlah filsafat Copernicusianisme yaitu dengan aliran heliosentris dimana tidak menyetujui pendapat dari gereja dan berdasarkan analisis, perhitungan, pengamatan, dan sebagainya bukanlah bumi yang menjadi pusat dari tata surya, namun yang menjadi pusat tata surya adalah matahari. Semuanya mengelilingi matahari, dan juga bumi berputar pada porosnya. Atas dasar hal tersebut, akhirnya gereja marah besar dan akan mengkap serta membunuh Copernicus, namun dia telah pergi meninggalkan dunia terlebih dahulu.
Awal zaman modern muncul sekitar abad ke-14 sampai ke-15 Masehi, dengan tokohnya Galileo dan Bruno. Namun sangat disayangkan, Galileo ditangkap dan dibunuh oleh pihak gereja, begitu juga dengan Bruno ditangkap lalu dibakar. Kincir tetap berputar dan terus mengalirkan air, begitu juga dengan idealisme di dalam pikiran tumbuh kembali dimana orang mulai menggunakan rasio setelah adanya Copernicus yaitu orang-orang mulai menggunakan logika dan sebagainya. Kemudian muncul rasionalisme dengan tokohnya yaitu Rene Descartes. Di sisi lain, orang-orang berpikir tentang pengalaman, sehingga lahirlah filsafat empirisisme dengan tokohnya adalah D.Hume. Semua tokoh filsafat yang muncul masing-masing mempertahankan kebenaran pendapatnya masing-masing. Descartes berpendapat bahwa tidak akan ada ilmu jika kita tidak berpikir menggunakan rasio. D.Hume juga berpendapat tidak akan ada ilmu jika kita tidak berpikir berdasarkan pengalaman.
Rasio di dalam pikiran yang ersifat tetap dinamakan idealis, dari sini lahirlah seseorang yang bernama Immanuel Kant yang merupakan juru damai antara rasionalisme dan empirisisme. Menurut Immanuel yang ada di dalam pikiran, bersifat tetap, dan ideal yang dipikirkan oleh Plato, Permenides, dan Descartes adalah chemistry. Contohnya jilbab itu chemistry-nya perempuan. Maka ini sesuai dengan hukum identitas (I) yaitu A = A, Aku = Aku, 4 = 4, dan seterusnya. Pengalaman (empiris) yang di luar pikiran sesuai dengan hukum kontradiksi bahwa predikat termuat oleh subjeknya. A ≠ A seperti dalam program komputer. Program komputer adalah matematika yang mulai peduli dengan ruang dan waktu. 4 = 4 itu salah, kenapa? Sebab ada 4 yang terdahulu dan 4 yang kemudian. 4 = 4 akan menjadi benar ketika masih ada di dalam pikiran, namun jika 4 = 4 itu sudah ditulis atau diucapkan maka secara filsafat itu salah.
Menurut Immanuel Kant yang berada dalam pikiran itu bersifat analitik, sedangkan yang berada di luar pikiran itu bersifat sintetik. Yang berada di dalam pikiran bersifat apriori, sedangkan yang berada di luar pikiran bersifat aposteriori. Apriori adalah mampu memikirkan walaupun belum melihatnya, itu sebabnya mahasiswa dapat membuat proposal karena mampu memikirkan walaupun belum melihatnya. Berbeda dengan kucing, kucing tidak dapat berpikir secara apriori tetapi berpikir aposteriori yaitu berpikir setelah melihatnya. Contohnya yaitu saat kucing melihat tikus lewat dan setelah itu buntut kucing bergerak-gerak.
Analitik adalah konsistensi dari ide. Sintetik adalah hubungan subjek-predikat dimana predikat termuat dalam subjeknya. Menurut Immanuel Kant, Descartes telah mendewakan rasio dan mengabaikan pengalaman, begitupun sebaliknya D.Hume telah mendewakan pengalaman dan mengabaikan rasio. Ilmu itu adalah kompromi yaitu menggabungkan antara pengalaman dan rasio. Kerja adalah separuh dari dunia, sedangkan separuhnya lagi adalah berpikir. Oleh karena itu, kerja harus diimbangi dengan berpikir. Jika kita hanya bekerja saja maka akan terancam buta, sedangkan jika kita hanya berpikir saja maka kita akan terancam kosong. Maka dari itu, hidup adalah berjuang agar tidak buta dan kosong.
Yang terdapat di luar pikiran adalah sintetik aposteriori, sedangkan yang terdapat di dalam pikiran adalah analitik apriori. Identitas juga bersifat tautologi, kebenarannya bersifat koherensi yang diperoleh dari konsistensi. Yang di luar pikiran, bersifat kontradiksi, bersifat dinamik, kebenarannya bersifat korespondensi, cocok dengan kerjanya, cocok dengan realitasnya, dan seterusnya.
Analitik dan aposteriori kita kawinkan maka apakah yang terjadi? Analitik itu konsistensi ide, ide yang ada sekarang dan ide yang akan datang. Aposteriori baru bisa berpikir setelah terjadi. Maka mana bisa dia konsisten karena belum terjadi. Wujudnya apriori itu adalah matematika formal atau aksiomatik atau matematika murni. Apa yang identitas? Yaitu teorema-i sama dengan teorema-j. Maka tidak akan terjadi (non-sense) analitik bertemu dengan aposteriori.
Coba kita gabungkan sintetik dengan apriori. Apriori bisa memikirkan walaupun belum terjadi, termasuk memikirkan pengalaman. Itulah sebenar-benarnya ilmu, bekerja dipikirkan, berpikir untuk bekerja. Maka inilah yang terjadi menurut Immanuel Kant. Menurut Immanuel Kant, sebenar-benar ilmu dia bersifat sintetik apriori. Matematika murni, matematika formal, atau aksiomatik terancam bukan merupakan ilmu. Inilah dunia orang dewasa. Kalau aposteriori itu matematika sekolah, dunianya anak-anak.
Apakah perbatasan antara matematika formal dan matematika sekolah? Perbatasannya yaitu Iceberg Realistic Mathematics Education. Matematika Kongkrit – Model Kongkrit – Model Formal – Matematika Formal (dari bawah ke atas). RME Iceberg ini sangat bagus, karena menjangkau realitanya dan menjangkau idealnya. Apakah ada yang menyangkal pendapat dari Immanuel Kant? Banyak sekali. Setiap saat banyak orang yang menyangkal dengan membuat buku. Seperti Piaget, setiap semester di Amerika sana banyak sekali orang yang menyangkal dengan membuat teori baru. Semakin disangkal semakin terkenal teori Piaget.
Maka muncul lagi era kira-kira 2 abad yang lalu, yaitu tembok besar dimana filsafat dan metafisik ditolak. Yang menolak adalah Auguste Comte. Aguste Comte mempunyai teori bahwa untuk apa kita berfilsafat, jika ingin membangun masyarakat yang sejahtera maka jangan terlalu banyak berdoa. Berdoa itu irrasional dan menghabiskan waktu. Pikirkanlah dengan sikap positif. Esensi dari sikap positif adalah pertama kalinya diproklamirkan, metode saintifik. Disinilah Auguste Comte telah menabuh genderang perang terhadap spiritualisme. Karena spiritualisme sudah harus dipinggirkan karena tidak menunjang dan tidak relevan untuk mencapai masyarakat yang adil makmur dan sejahtera. Coba bayangkan, bandingkan dengan kuliahmu, bandingkan dengan diri kita pada kuliah Pak Marsigit yang mempromosikan material – formal – normatif ini semua dipayungi oleh spiritual. Ini kita, ini Indonesia, ini dunia timur. Yang dicanangkan oleh Auguste Comte adalah dunia barat, dunia industrial. Tetapi tanpa disadari oleh dunia timur dan dunia spiritualitas, positivisme Auguste Comte menjelma menjadi dunia yang sekarang, dunia kontemporer. Dunia kontemporer itu mulai dari archaic – tribal – tradisional – feodal – modern – pos modern – pos pos modern (dari bawah ke atas).
Ketika dilautan muncul pertanyaan “air apakah ini? Maka jawabannya adalah air kapitalis, air pragmatis, air hedonisme, air utilitalian, air materialisme dan ini menuju air neo neo seterusnya. Kembali ke pertanyaan awal, “maka siapakah ikan itu? Ikan itu adalah diri kita. Diriku yang sedang belajar filsafat ini, yang sedang terombang ambing di tengah lautan kehidupan kontemporer. Contohnya anak SD sudah bisa membuka internet dan semua akses orang dewasa juga bisa diakses anak kecil, dan lainnya. Jadi kehidupan ini menimbulkan kemunafikan. Maka di dalam ini dan itu ada dajjal, yaitu sistem yang satu mengalahkan sistem yang lain. Inilah dajjal filsafat, yaitu sistem yang tidak dikehendaki.
Immanuel Kant berkata, jika engkau ingin melihat dunia maka tengoklah kedalam pikiranmu. Karena pikiranmu itu adalah sebenar-benarnya sama dengan isi dunia, dunia yang kamu pikirkan sama dengan pikiranmu. Jadi jika saya dengan anda ingin berdialog tentang jakarta, saya tidak perlu ke Jakarta. Misalnya di dalam pikiranmu ada sate ikan paus? Di dalam pikiranmu ada cacing terbang? Setidaknya walaupun tidak ada, engkau telah mendengar pertanyaan saya. Karena engkau mendengar pertanyaan saya, itu sudah ada di dalam pikiranmu. Jadi yang telah aku uraikan dari zaman Yunani dan zaman sekarang itu, aku sedang mengungkapkan satu titik di dalam kepala ikan (diriku). Karena pikiranmu begitu luas.