Selasa, 11 November 2014

Siapakah ikan itu?



 Terinspirasi oleh perkuliahan Bapak Marsigit pada mata kuliah Filsafat Pendidikan Matematika untuk program studi S1 Pendidikan Matematika Internasional 2011 pada hari rabu tanggal 29 Oktober 2014 jam 09.00 WIB di ruangan D01.204 FMIPA UNY.

Bagaimana kita membangun dunia dari yang ada dan yang mungkin ada? Yang ada bisa berupa daun, kacamata, dan sebagainya. Kita berusaha untuk membangun dahulu. Obyek filsafat adalah yang ada dan yang mungkin ada. Kita bisa mengeksplor yang ada dan yang mungkin ada melalui sifatnya. Sifatnya ada banyak, tetapi ada 2 macam yaitu yang bersifat intensif dan ekstensif. Contoh warna biru bila diintensifkan menjadi biru 1, biru 2, dan seterusnya. Bila diekstensifkan maka menjadi mempunyai harga, fungsi, struktur, tujuan, manfaat, dan sebagainya.
Beberapa sifat yaitu ada yang bersifat tetap dan ada yang bersifat berubah. Dari kedua sifat ini akan mengantarkan kita sampai kepada laut yang terdapat ikannya. Lalu muncul pertanyaan “siapakah ikan itu?” Ini adalah dimensi, dimana ketika kita tidak bisa menjawab sesuatu maka akan tetap tidak bisa menjawab jika memang kita tidak tahu jawabannya.
Carilah yang tetap dan yang berubah didalam diri kita. Contoh yang tetap adalah jumlah mata, sedangkan yang berubah adalah pikiran (pagi setuju namun sore tidak setuju), mood, bentuk badan, dan sebagainya. Yang tetap itu biasanya yang berdomisili paling banyak di dalam pikiran, sedangkan yang berubah itu biasanya di luar pikiran. Contohnya angka 4 tetap karena berada di dalam pikiran sedangkan yang di luar pikiran terdapat 4 besar, 4 kecil, 4 terbalik, dan sebagainya. Tokoh yang mendukung sifat tetap adalah Permenides dan filsafatnya disebut Permenidesialisme. Tokoh yang mendukung sifat berubah adalah Heraklitos dan filsafatnya disebut Heraklitosianisme. Sesuatu yang tetap di dalam pikiran itu berjumlah satu (mono), sedangkan sesuatu yang berubah itu berjumlah plural. Oleh karena itu, kita mengenal istilah monoisme dan pluralisme.
Sesuatu yang berada di dalam pikiran itu bersifat ideal. Filsafatnya disebut idealisme dan tokohnya adalah Plato. Kemudian lahir filsafat Platoisme. Contohnya adalah bagian depan sebuah penghapus berwarna hitam, kemudian penghapus tersebut disembunyikan. Lalu diberikan pertanyaan “apa warna bagian depan penghapus tadi?” Lalu pertanyaan ini dapat dijawab dengan mudah “warnanya hitam”. Hal ini dikarenakan penghapus tersebut telah ada di dalam pikiran kita. Sesuatu yang berada di luar pikiran disebut reali. Filsafatnya adalah realisme dan tokohnya adalah Aristoteles.
Zaman kegelapan muncul sekitar abad ke-12 sampai abad ke-13 Masehi yaitu dominasi gereja, dimana semua kebenaran harus berdasarkan gereja. Gereja menciptakan kebenaran yaitu secara geosentris bahwa bumi itu merupakan pusat sehingga matahari, bulan, dan bintang-bintang yang mengelilingi bumi. Ini merupakan kebenaran absolut yang ditegakkan oleh gereja pada saat itu, barangsiapa yang menyangkalnya maka ia merupakan musuh yang akan dikejar dan bahkan dibunuh. Lalu muncul Copernicus dan lahirlah filsafat Copernicusianisme yaitu dengan aliran heliosentris dimana tidak menyetujui pendapat dari gereja dan berdasarkan analisis, perhitungan, pengamatan, dan sebagainya bukanlah bumi yang menjadi pusat dari tata surya, namun yang menjadi pusat tata surya adalah matahari. Semuanya mengelilingi matahari, dan juga bumi berputar pada porosnya. Atas dasar hal tersebut, akhirnya gereja marah besar dan akan mengkap serta membunuh Copernicus, namun dia telah pergi meninggalkan dunia terlebih dahulu.
Awal zaman modern muncul sekitar abad ke-14 sampai ke-15 Masehi, dengan tokohnya Galileo dan Bruno. Namun sangat disayangkan, Galileo ditangkap dan dibunuh oleh pihak gereja, begitu juga dengan Bruno ditangkap lalu dibakar. Kincir tetap berputar dan terus mengalirkan air, begitu juga dengan idealisme di dalam pikiran tumbuh kembali dimana orang mulai menggunakan rasio setelah adanya Copernicus yaitu orang-orang mulai menggunakan logika dan sebagainya. Kemudian muncul rasionalisme dengan tokohnya yaitu Rene Descartes. Di sisi lain, orang-orang berpikir tentang pengalaman, sehingga lahirlah filsafat empirisisme dengan tokohnya adalah D.Hume. Semua tokoh filsafat yang muncul masing-masing mempertahankan kebenaran pendapatnya masing-masing. Descartes berpendapat bahwa tidak akan ada ilmu jika kita tidak berpikir menggunakan rasio. D.Hume juga berpendapat tidak akan ada ilmu jika kita tidak berpikir berdasarkan pengalaman.
Rasio di dalam pikiran yang ersifat tetap dinamakan idealis, dari sini lahirlah seseorang yang bernama Immanuel Kant yang merupakan juru damai antara rasionalisme dan empirisisme. Menurut Immanuel yang ada di dalam pikiran, bersifat tetap, dan ideal yang dipikirkan oleh Plato, Permenides, dan Descartes adalah chemistry. Contohnya jilbab itu chemistry-nya perempuan. Maka ini sesuai dengan hukum identitas (I) yaitu A = A, Aku = Aku, 4 = 4, dan seterusnya. Pengalaman (empiris) yang di luar pikiran sesuai dengan hukum kontradiksi bahwa predikat termuat oleh subjeknya. A ≠ A seperti dalam program komputer. Program komputer adalah matematika yang mulai peduli dengan ruang dan waktu. 4 = 4 itu salah, kenapa? Sebab ada 4 yang terdahulu dan 4 yang kemudian. 4 = 4 akan menjadi benar ketika masih ada di dalam pikiran, namun jika 4 = 4 itu sudah ditulis atau diucapkan maka secara filsafat itu salah.
Menurut Immanuel Kant yang berada dalam pikiran itu bersifat analitik, sedangkan yang berada di luar pikiran itu bersifat sintetik. Yang berada di dalam pikiran bersifat apriori, sedangkan yang berada di luar pikiran bersifat aposteriori. Apriori adalah mampu memikirkan walaupun belum melihatnya, itu sebabnya mahasiswa dapat membuat proposal karena mampu memikirkan walaupun belum melihatnya. Berbeda dengan kucing, kucing tidak dapat berpikir secara apriori tetapi berpikir aposteriori yaitu berpikir setelah melihatnya. Contohnya yaitu saat kucing melihat tikus lewat dan setelah itu buntut kucing bergerak-gerak.
Analitik adalah konsistensi dari ide. Sintetik adalah hubungan subjek-predikat dimana predikat termuat dalam subjeknya. Menurut Immanuel Kant, Descartes telah mendewakan rasio dan mengabaikan pengalaman, begitupun sebaliknya D.Hume telah mendewakan pengalaman dan mengabaikan rasio. Ilmu itu adalah kompromi yaitu menggabungkan antara pengalaman dan rasio. Kerja adalah separuh dari dunia, sedangkan separuhnya lagi adalah berpikir. Oleh karena itu, kerja harus diimbangi dengan berpikir. Jika kita hanya bekerja saja maka akan terancam buta, sedangkan jika kita hanya berpikir saja maka kita akan terancam kosong. Maka dari itu, hidup adalah berjuang agar tidak buta dan kosong.
Yang terdapat di luar pikiran adalah sintetik aposteriori, sedangkan yang terdapat di dalam pikiran adalah analitik apriori. Identitas juga bersifat tautologi, kebenarannya bersifat koherensi yang diperoleh dari konsistensi. Yang di luar pikiran, bersifat kontradiksi, bersifat dinamik, kebenarannya bersifat korespondensi, cocok dengan kerjanya, cocok dengan realitasnya, dan seterusnya.
Analitik dan aposteriori kita kawinkan maka apakah yang terjadi? Analitik itu konsistensi ide, ide yang ada sekarang dan ide yang akan datang. Aposteriori baru bisa berpikir setelah terjadi. Maka mana bisa dia konsisten karena belum terjadi. Wujudnya apriori itu adalah matematika formal atau aksiomatik atau matematika murni. Apa yang identitas? Yaitu teorema-i sama dengan teorema-j. Maka tidak akan terjadi (non-sense) analitik bertemu dengan aposteriori.
Coba kita gabungkan sintetik dengan apriori. Apriori bisa memikirkan walaupun belum terjadi, termasuk memikirkan pengalaman. Itulah sebenar-benarnya ilmu, bekerja dipikirkan, berpikir untuk bekerja. Maka inilah yang terjadi menurut Immanuel Kant. Menurut Immanuel Kant, sebenar-benar ilmu dia bersifat sintetik apriori. Matematika murni, matematika formal, atau aksiomatik terancam bukan merupakan ilmu. Inilah dunia orang dewasa. Kalau aposteriori itu matematika sekolah, dunianya anak-anak.
Apakah perbatasan antara matematika formal dan matematika sekolah? Perbatasannya yaitu Iceberg Realistic Mathematics Education. Matematika Kongkrit – Model Kongkrit – Model Formal – Matematika Formal (dari bawah ke atas). RME Iceberg ini sangat bagus, karena menjangkau realitanya dan menjangkau idealnya. Apakah ada yang menyangkal pendapat dari Immanuel Kant? Banyak sekali. Setiap saat banyak orang yang menyangkal dengan membuat buku. Seperti Piaget, setiap semester di Amerika sana banyak sekali orang yang menyangkal dengan membuat teori baru. Semakin disangkal semakin terkenal teori Piaget.
Maka muncul lagi era kira-kira 2 abad yang lalu, yaitu tembok besar dimana filsafat dan metafisik ditolak. Yang menolak adalah Auguste Comte. Aguste Comte mempunyai teori bahwa untuk apa kita berfilsafat, jika ingin membangun masyarakat yang sejahtera maka jangan terlalu banyak berdoa. Berdoa itu irrasional dan menghabiskan waktu. Pikirkanlah dengan sikap positif. Esensi dari sikap positif adalah pertama kalinya diproklamirkan, metode saintifik. Disinilah Auguste Comte telah menabuh genderang perang terhadap spiritualisme. Karena spiritualisme sudah harus dipinggirkan karena tidak menunjang dan tidak relevan untuk mencapai masyarakat yang adil makmur dan sejahtera. Coba bayangkan, bandingkan dengan kuliahmu, bandingkan dengan diri kita pada kuliah Pak Marsigit yang mempromosikan material – formal – normatif ini semua dipayungi oleh spiritual. Ini kita, ini Indonesia, ini dunia timur. Yang dicanangkan oleh Auguste Comte adalah dunia barat, dunia industrial. Tetapi tanpa disadari oleh dunia timur dan dunia spiritualitas, positivisme Auguste Comte menjelma menjadi dunia yang sekarang, dunia kontemporer. Dunia kontemporer itu mulai dari archaic – tribal – tradisional – feodal – modern – pos modern – pos pos modern (dari bawah ke atas).
Ketika dilautan muncul pertanyaan “air apakah ini? Maka jawabannya adalah air kapitalis, air pragmatis, air hedonisme, air utilitalian, air materialisme dan ini menuju air neo neo seterusnya. Kembali ke pertanyaan awal, “maka siapakah ikan itu? Ikan itu adalah diri kita. Diriku yang sedang belajar filsafat ini, yang sedang terombang ambing di tengah lautan kehidupan kontemporer. Contohnya anak SD sudah bisa membuka internet dan semua akses orang dewasa juga bisa diakses anak kecil, dan lainnya. Jadi kehidupan ini menimbulkan kemunafikan. Maka di dalam ini dan itu ada dajjal, yaitu sistem yang satu mengalahkan sistem yang lain. Inilah dajjal filsafat, yaitu sistem yang tidak dikehendaki.
Immanuel Kant berkata, jika engkau ingin melihat dunia maka tengoklah kedalam pikiranmu. Karena pikiranmu itu adalah sebenar-benarnya sama dengan isi dunia, dunia yang kamu pikirkan sama dengan pikiranmu. Jadi jika saya dengan anda ingin berdialog tentang jakarta, saya tidak perlu ke Jakarta. Misalnya di dalam pikiranmu ada sate ikan paus? Di dalam pikiranmu ada cacing terbang? Setidaknya walaupun tidak ada, engkau telah mendengar pertanyaan saya. Karena engkau mendengar pertanyaan saya, itu sudah ada di dalam pikiranmu. Jadi yang telah aku uraikan dari zaman Yunani dan zaman sekarang itu, aku sedang mengungkapkan satu titik di dalam kepala ikan (diriku). Karena pikiranmu begitu luas.



Selasa, 21 Oktober 2014

Menggapai Filsafat 1



Betapa pentingnya refleksi dalam mata kuliah filsafat, hal ini semata-mata untuk membuat saya mampu menggapai filsafat. Dalam kuliah filsafat, setiap pertanyaan yang diutarakan mahasiswa akan dijawab oleh Bapak Marsigit, lalu mahasiswa merefleksikan hasil dari setiap jawaban tersebut.

Medina (pertanyaan 1) :
Mana yang lebih mempengaruhi, keyakinan mempengaruhi filsafat atau filsafat yang mempengaruhi keyakinan?

Bapak Marsigit :
Jangan sampai filsafat Anda menggerogoti keyakinan Anda. Hindari filsafat Anda yang dapat mengurangi kadar keyakinan Anda, tetapi justru sebaliknya. Jika Anda sudah merasa mengalami degradasi, maka berhentilah untuk berpikir dan intensifkan diri dalam berdoa. Keyakinan yang seharusnya diharapkan dapat mempengaruhi filsafat. Orang muslim maka filsafatnya harus bisa mencerminkan kemuslimannya. Sebab, filsafat itu olah pikir yakni berpikir seluas-luasnya tetapi tetap dibatasi dengan spiritual. Filsafat itu tergantung dari orang dan spiritualnya. Spiritual yang berbeda maka akan menghasilkan filsafat yang berbeda. Istilahnya seperti ‘jangan sekali-kali matematikamu membuat kadar imanmu berkurang.’

Sukmo (pertanyaan 2) :
Jika dalam filsafat terdapat yang ada dan mungkin ada, maka dimana letak yang tidak ada?

Bapak Marsigit :
Ada dan tidak ada menjadi penyebab adanya yang lain. Contoh Bapak Marsigit dan Istrinya akan pergi ke tempat adiknya, namun istri bapak Marsigit akan membaca yasinan. Maka Pak marsigit dan istri tidak jadi pergi, dan kemudian tetap berada di rumah. Ketidakadaan Bapak Marsigit dan istri di tempat adik dan di tempat yasinan menyebabkan mereka berdua berada di rumah. Jadi tidak ada itu adalah ada, hanya beda ruang dan waktu. Contoh lain, Indonesia marah pada Australia karena merasa telah disadap, lalu Australia tidak mau mengakui hal tersebut. Kemudian tidak ada komunikasi tidak ada kompromi antara kedua negara tersebut, maka ada kevakuman komunikasi, artinya komunikasi ada dan tidak ada komunikasi juga ada. Adanya komunikasi menyebabkan ketegangan menurun antara kedua negara.

Aisyah (pertanyaan 3) :
Bagaimana ikhlas dalam pikiran, ikhlas dalam hati, ikhlas belajar dan ikhlas beramal?

Bapak Marsigit :
Selama ikhlas itu dikatakan dan diucapkan maka tidak ada yang benar tentang keikhlasan itu, karena ikhlas mencapai ranah spiritual. Maka tergantung janjinya berkata ikhlas dari tataran yg mana. Kalau tataran urusan dunia maka menjadi multitafsir, tetapi kalo akhirat tafsirnya hanya satu. Manusia tidak akan pernah mengerti kadar ikhlas itu, manusia hanya berusaha memenuhi syarat rukun dan imannya untuk mencapai keikhlasan. Sebenar-benarnya Maha Mengerti adalah sang pencipta yang tahu tingkat keikhlasan kita. Perjuangan manusia adalah mengisi wadah. Keikhlasan belajar selama itu urusan dunia kalau kita mau berpikir, sunatullah sesuai dengan kodratnya, ikhtiar, dan harmoni keseimbangan (hak dan kewajibannya). Bekerja keras itu adalah fisiknya. Ikhlas mengadakan yang mungkin ada menjadi ada. Caranya yaitu dengan tumaninah dan istiqomah.
Objek filsafat bisa di dalam pikiran dan bisa di luar pikiran. Contoh bolpoin yang tadinya ada menjadi tidak ada karena sudah menghilang. Lalu bolpoint tersebut bisa dikatakan bolpoin hitam karena bolpoin itu sudah ada di dalam pikiran kita. Hal yang berada di dalam pikiran disebut idealisme, tokohnya adalah Plato. Hal yang ada di luar pikiran adalah realisme, tokohnya adalah Aristoteles.

Dita (pertanyaan 3) :
Apakah ketenangan itu ada padahal manusia bersifat kontradiktif?

Bapak Marsigit :
Dalam berfilsafat yang dilihat adalah kualitas I dengan sifat yang ada dan yang mungkin ada. Dunia punya 2 prinsip yaitu identitas dan kontradiktif. Identitas yaitu aku sama dengan aku, tetapi hanya terjadi di dalam pengandaian. Selama turun ke bumi berfilasafat sensitif dengan ruang dan waktu maka tidak pernah bisa menunjuk diriku. Belum selesai menunjuk diriku, lalu diriku yang tadi jadi sekarang, lalu berubah lagi jadi diriku yang nanti, dan selalu berbeda. Aku sama dengan aku, ini dalam filsafat salah kalau sensitif terhadap ruang dan waktu, karena ditemukan 2 macam aku, aku yang pertama dan aku yang kedua. Hukum identitas tidak akan pernah terjadi seperti itu, itulah yang dinamakan  kontradiksi. Yang terjadi di dunia itu subjek tidak sama dengan predikat, sebab kalau subjek sama dengan predikat maka jadi identitas. Jika subjek itu dirimu maka predikat itu sifat yg kamu miliki.
Karena hakikat segala sesuatu tergantung ruang dan waktu maka tidak ada yang tetap, karena semuanya terus berubah. Kalo tenang sama dengan tetap maka ketenangan hanya bisa diraih di akhirat. Hakikat di dunia, hidup itu tidak tenang, maka bersiap-siap untuk tidak tenang agar bisa tetap hidup. Tidak tenanglah dalam pikiran, sedangkan hatimu jagalah supaya dia tetap tenang. Karena sebenar-benarnya ilmu diperoleh dengan cara menidaktenangkan pikiran. Pikiran yang tenang itu pikiran yang sudah ada di akhirat. Jika dalam hidup pikiranmu kontradiktif, artinya tesis perlu dicari antitesis kemudian dicari sintesis. Tesis yang tidak tenang harus dicari lagi antitesisnya (apa iya itu benar?) setelah dicari datanya ternyata benar maka itu disebut sintesis. Tenang itu berati hanya tesis saja. Sebenar-benarnya tenang mengandung tidak tenang. Manusia itu tenang dalam ketidaktenangan.

Dyah (pertanyaan 4) :
Bagaimana hakikat hidup manusia?

Bapak Marsigit :
Manusia menemukan hakikat hidupnya itu dengan berbagai cara, dengan berpikir intuitif, menyadari dalil dan aksioma yang menjadi pedoman dan sebagainya. Setinggi-tingginya senjata Mahadewa itu ternyata mengandung filsafat, teori, aksioma, dan dalil. Maka jika kita belajar ilmu filsafat ini seakan-akan kita mendapatkan ilmu tantra dimana Mahadewanya adalah Bapak Marsigit, tapi Anda tertidur sehingga tidak mampu membaca elegi dan membuat komen, maka turun lagi ke bumi menjadi anak nelayan. Supaya bisa ketemu Bapak Marsigit kembali dan mendapat surat tidak lulus filsafat.
Karena matematika itu ada di atas, maka matematika itu mempunyai aksioma, dalil dan teorema. Bilangan bulat ditambah bilangan bulat, maka hasilnya bilangan bulat. Silahkan cari di dunia, bilangan bulat ditambah bilangan bulat. Karena dunia tidak sempurna, maka ada orang yang menemukan 2 itu lebih besar dari pada 7, itu karena 2 ditulis dengan spidol, dan 7 menggunakan pensil. Maka dalil yang itu pasti benar karena dia terbebas oleh ruang dan waktu.
Kuliah filsafat bisa bertemu dengan mahadewa. Ayam itu dewanya cacing, kucing itu dewanya tikus, Kita itu dewanya jilbab kita, subjek itu dewanya predikat, kita itu dewanya milik kita dan kita itu dewanya sifat kita, kita yang sekarang dewanya kita yang lalu, kita yang nanti dewanya kita yang sekarang. Yang dimaksud dewa disini adalah dimensi. Ada dimensi yang berbeda-beda. Jika subjek itu adalah dewanya, maka predikat itu adalah daksanya. Yang harusnya diberi pantangan adalah daksanya, bukan dewanya. Jika kita buang, lempar, atau sekali pakai jilbab kita, maka itu terserah kita karena kita adalah dewanya jilbab, sementara jilbab kita itu adalah daksanya dan sifatmu. Maka tidak akan pernah terjadi subjek sama dengan predikat atau subjek sama dengan sifatnya. 

Oleh :Dianing Meijayanti - 11313244024